September 8, 2024

Bejagadget

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta Beja Gadget, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta yang diperbarui.

PTI-P Indonesia menentang rancangan undang-undang pengadilan tinggi yang dapat memberikan kekuasaan lebih besar kepada Prabowo

PTI-P Indonesia menentang rancangan undang-undang pengadilan tinggi yang dapat memberikan kekuasaan lebih besar kepada Prabowo

Dihapus, namun terbuka untuk kebangkitan

Badan peradilan ini merupakan satu-satunya badan peradilan yang diberi wewenang untuk mengadili perselisihan pemilu dan membatalkan seluruh atau sebagian undang-undang yang ada jika dianggap inkonstitusional.

Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak pada tanggal 27 November, ketika 204 juta pemilih yang memenuhi syarat akan memilih 38 gubernur, 416 bupati, dan 98 walikota.

Oleh karena itu, penting untuk menjaga independensi pengadilan dan menjauhkan hakim dari campur tangan pihak luar, kata MDM Bvitri.

Meskipun Parlemen telah menghapus amandemen tersebut dari daftar rancangan undang-undang prioritasnya, upaya untuk mengubah undang-undang tersebut dapat dihidupkan kembali sebagai rancangan undang-undang prioritas yang diusulkan oleh pemerintah kapan saja.

RUU tersebut harusnya dirancang dan dibahas oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menteri saat ini Yasona Lavaoli adalah anggota PDI-P, yang menolak perubahan undang-undang.

Para ahli mencatat bahwa para politisi masih bisa mencoba membuat parlemen periode 2024-2029 didominasi oleh partai-partai politik yang mendukung pemerintahan baru Prabowo.

Koalisi Indonesia Maju yang dimotori oleh Prabowo diperkirakan akan menguasai 280 dari 580 kursi di parlemen. Dua partai: Partai Kebangkitan Bangsa (PKP) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) telah menyatakan minatnya untuk mendukung pemerintahan Prabowo, sehingga jumlah kursi koalisi menjadi 417.

“Kita harus memperhatikan hal ini dan menolak segala upaya yang melemahkan independensi hakim,” kata MDM Bvitri.

“Kewenangan menilai seorang hakim sebaiknya hanya sebatas pada Komite Etik, itupun penilaiannya harus sebatas etika dan moral saja. Kewenangan tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada Presiden, DPR atau lembaga lain,” ujarnya.