Secara tradisional dipandang sebagai domain yang didominasi oleh laki-laki muda, lanskap pembajakan digital telah mengalami perubahan yang signifikan. Penelitian terbaru menyoroti perubahan tak terduga di Indonesia, di mana jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki dalam musik, film, dan acara TV bajakan. Perkembangan ini menantang stereotip lama dan menandakan diversifikasi populasi pencurian yang lebih luas di seluruh dunia.
Melanggar stereotip gender
Pada awal dekade terakhir, kemitraan antara The Pirate Bay dan Universitas Lund di Swedia bertujuan untuk menjelaskan fenomena pembajakan global melalui survei pembajakan online terbesar yang pernah ada. Meskipun temuan awal tampaknya memperkuat stereotip kuno bahwa bajak laut adalah generasi muda yang merupakan penggemar laki-laki, penelitian lebih lanjut memberikan gambaran yang sangat berbeda. Penelitian ekstensif UE mengenai pembajakan tidak mempertimbangkan gender sebagai faktor penting, sehingga menunjukkan adanya pergeseran ke arah pemahaman yang lebih inklusif mengenai demografi pembajakan.
Wawasan dari Asia
Temuan terbaru oleh peneliti Dr Xumi Bian dan Ms Humaira Farid dari Northumbria University Newcastle telah memberikan wawasan baru mengenai dinamika gender dalam plagiarisme. Studi mereka terfokus pada Indonesia dan Thailand dan menemukan bahwa di Indonesia, perempuan lebih besar kemungkinannya melakukan pembajakan konten dibandingkan laki-laki, kecuali untuk kategori perangkat lunak. Sebaliknya, di Thailand, laki-laki melakukan plagiarisme di semua kategori konten. Perbedaan-perbedaan ini menggarisbawahi kompleksitas perilaku pembajakan dan menantang relevansi stereotip gender di era digital.
Perbedaan regional dan sikap konsumen
Selain gender, penelitian ini juga menyoroti perbedaan regional yang signifikan dalam perilaku dan sikap terhadap pembajakan antara konsumen Indonesia dan Thailand. Responden di Indonesia melaporkan kesadaran dan keterlibatan yang lebih besar terhadap konten bajakan yang tersedia di situs-situs seperti YouTube dan situs khusus pembajakan musik. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan dan harga layanan hukum dapat mempengaruhi kemungkinan penghentian proses pembajakan, dengan variasi yang berbeda-beda di kedua negara.
Seiring dengan terus berkembangnya pembajakan digital, temuan penelitian ini memberikan wawasan berharga bagi para pembuat kebijakan dan ahli strategi anti-pembajakan. Mengenali keragaman kelompok pembajakan dan memahami faktor-faktor yang mendorong perilaku pembajakan merupakan langkah penting dalam mengembangkan langkah-langkah anti-pembajakan yang efektif yang menjawab kebutuhan dan karakteristik kelompok konsumen yang berbeda, dengan mempertimbangkan kesenjangan nasional.
“Pakar TV. Penulis. Gamer ekstrem. Spesialis web yang sangat menawan. Pelajar. Penggemar kopi jahat.”
More Stories
Merayakan Tujuh Tahun Pemuda: The Lab: Membangun Ekosistem Kewirausahaan Pemuda di Indonesia
Mengapa Jalan Indonesia Menuju Net Zero Perlu Tindakan Segera di COP29 – Duta Besar
Gaganjeet Fuller bersiap menghadapi tekanan untuk mempertahankan gelar Indonesia Masters