Hanya dalam delapan tahun, gig economy telah berkembang dari nol menjadi sumber pendapatan utama bagi 2,3 juta masyarakat Indonesia.
Dikenal sebagai Efek KojekKarena aplikasi ride-sharing yang menjadi pionir, industri ini telah menyaksikan puluhan perusahaan bermunculan di seluruh negeri sejak tahun 2015, sebagian besar menawarkan layanan rideshare dan pesan-antar makanan, serta layanan lainnya.
Namun peraturan yang mengatur sektor berbasis aplikasi masih kesulitan untuk mengimbanginya. Pekerja mempunyai sedikit hak atau tidak mempunyai hak sama sekali. Mereka tidak mendapat cuti sakit atau liburan. Dan mereka bekerja lebih lama dengan upah lebih sedikit.
Platform gig telah menjamur di Indonesia selama satu dekade terakhir, mulai dari super app seperti Gojek dan Grab hingga aplikasi spesifik seperti Shopee Food, Maxim atau InDrive hingga platform lokal seperti Jogja Kita. Layanan transportasi dan pengantaran makanan mendominasi.
Antara 430.000 dan 2,3 juta orang (0,3 hingga 1,7 persen dari angkatan kerja) sebagian besar bekerja di gig economy di Indonesia. Penelitian terbaru menunjukkan.
Seperti ini Amerika, EropaDan Britania RayaPekerja gig merupakan 0,5 hingga 5 persen dari angkatan kerja di sana.
Bedanya, di negara-negara tersebut, gig economy diatur lebih ketat, khususnya terkait hak-hak pekerja gigworker. Misalnya, di Inggris, platform tidak bisa lagi mengklasifikasikan pekerjanya sebagai kontraktor independen. Pekerja gig di Inggris mempunyai hak Keamanan kerja utama Upah Minimum Nasional dan Cuti Dibayar, dll.
Pada awalnya, sebagian besar situs pertunjukan muncul dari kekosongan yang tidak diatur. Misalnya, akan ada platform ride-hailing sepeda motor Dilarang Pada tahun 2015, keputusan tersebut dibatalkan dalam waktu 24 jam oleh Kementerian Perhubungan. Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa utilitas itu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, dan “harus ada aturannya Tidak ada salahnya Kepentingan masyarakat.”
Kemudian Kementerian Perhubungan mengeluarkan peraturan dan peraturan tersebut mulai berlaku 2018 Dan di dalam 2019.
Meskipun baik lokasi maupun pekerja menganggap hal ini sebagai a “kemenangan” Kedua istilah tersebut mempunyai arti yang terbatas karena memberikan kerangka hukum dan peraturan untuk bisnis ride-hailing.
Pertama, peraturan ini hanya berlaku untuk aplikasi rideshare, artinya Gojek dan Grab terikat oleh peraturan ini, sedangkan platform pesan-antar makanan seperti Shopee Food tidak. Perbedaan hukum ini berdampak pada pekerja. Misalnya, mereka yang bekerja di Shopee Food atau platform pesan-antar makanan lainnya berpenghasilan lebih rendah dibandingkan mereka yang bekerja di platform ride-hailing.
Kedua, istilah-istilah ini sangat terfokus Tanggung jawab pekerja daripada tanggung jawab situs. Misalnya, Permenhub 12/2019 membebankan kewajiban untuk memenuhi keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, dan regulasi layanan ride-hailing pada pengemudi, bukan pada platform.
Logikanya, penyedia jasa transportasi adalah pengemudinya, bukan platformnya. Faktanya, situs tersebut tidak menyebut dirinya sebagai perusahaan transportasi Perusahaan teknologiOleh karena itu, peraturan Kementerian Perhubungan tidak bisa digunakan untuk mengatur “perusahaan teknologi” tersebut.
Ketiga, masalah utama dari peraturan ini adalah peraturan tersebut tidak mengatasi isu utama kesejahteraan pekerja gig dan kondisi kerja. Pekerja gig di Indonesia tidak dianggap sebagai pekerja, melainkan “mitra”. Artinya mereka tidak mempunyai perlindungan hukum UU Ketenagakerjaan Tidak cocok untuk mereka. Mereka malah “berada dalam hubungan bersama” atau terikat Hubungan KemitranHubungan hampir tanpa perlindungan hukum.
Berbagai penelitian Penggunaan hubungan kemitraan dalam gig economy telah dikritik. Model hubungan kemitraan atau kontraktor independen dianggap sebagai sebuah manuver, sehingga perusahaan dapat menghindari kewajiban mereka untuk memberikan hak kerja seperti upah minimum dan cuti berbayar kepada pekerja gig. keputusan pengadilan Banyak negara telah memperjelas bahwa hubungan dalam gig economy tidak boleh dianggap sebagai kemitraan, melainkan hubungan kerja.
Namun tidak di Indonesia.
Tidak ada perkembangan peraturan yang signifikan yang mempengaruhi kesejahteraan dan kondisi kerja pekerja gig secara keseluruhan di Indonesia. Satu belajar Sebagian besar pekerja gig di Indonesia bekerja rata-rata 12 jam sehari.
Penelitian lain menyoroti penurunan nyata dalam pendapatan pekerja gig, dimana banyak di antara mereka yang kini berpenghasilan di bawah upah minimum. Kemitraan juga Normalisasi pekerjaan boronganKarena norma upah minimum tidak berlaku untuk yang disebut kemitraan.
Hubungan kemitraan dalam gig economy sangatlah tidak adil karena meskipun mereka disebut “mitra”, sebagian besar (jika tidak semua) keputusan mengenai “kemitraan” hanya diputuskan oleh satu pihak: situs. Dalam pengertian itu, kata “kemitraan” itu sendiri menyesatkan.
Di Indonesia, peraturan gig economy yang ada saat ini hanya terbatas pada layanan (bahkan terbatas pada layanan transportasi tertentu), tanpa kebijakan yang mengakui sumber permasalahannya: hubungan kemitraan dalam gig economy.
Kesenjangan antara lokasi dan pekerjanya, yang diperburuk oleh celah hukum, telah mengikis kesejahteraan pekerja pertunjukan seiring berjalannya waktu.
Pekerja gig menikmati penghasilan yang bagus pada saat itu Periode bulan madu, Ketika situs menawarkan bonus dan insentif kepada pekerja dan pelanggan. Tapi sekarang setelah bulan madunya selesai, A Berlomba ke bawah. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi kerja yang buruk mempunyai banyak arti Pekerja pertunjukan ingin berhenti.
Namun, mencari pekerjaan baru di pasar tenaga kerja Indonesia merupakan sebuah tantangan. Bagi mereka yang tidak dapat meninggalkan pekerjaan manggung, intervensi kebijakan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan mereka sangatlah penting. Mengatur kemitraan adalah cara yang logis untuk maju.
Artikel ini adalah bagian dari laporan khusus mengenai Asian Gig Economy. Pusat Penelitian Asia – Universitas Indonesia.
Awalnya diterbitkan di bawah Kreatif Bersama Oleh 360 informasi™.
“Pakar TV. Penulis. Gamer ekstrem. Spesialis web yang sangat menawan. Pelajar. Penggemar kopi jahat.”
More Stories
Merayakan Tujuh Tahun Pemuda: The Lab: Membangun Ekosistem Kewirausahaan Pemuda di Indonesia
Mengapa Jalan Indonesia Menuju Net Zero Perlu Tindakan Segera di COP29 – Duta Besar
Gaganjeet Fuller bersiap menghadapi tekanan untuk mempertahankan gelar Indonesia Masters