Hutan tropis yang penuh dengan kehidupan, terumbu karang yang berkilauan dengan ribuan warna dan kehidupan yang tiada duanya di bumi telah menjadi ciri khas Indonesia, sebuah permata di rangkaian pulau di Asia Tenggara. Namun di balik keindahan itu terdapat kegelapan. Plastik menyumbat sungai-sungai yang dulunya subur; Deforestasi meninggalkan bekas luka pada lanskap; Menggaungkan jeritan kelompok marginal; Dan tangisan spesies yang terancam punah pun dibungkam. Indonesia, yang menempati peringkat keempat negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dan salah satu dari 10 negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, telah menarik perhatian dunia. Dengan terbatasnya pilihan, hanya ada sedikit pilihan, namun banyak yang harus mematuhi perjanjian lingkungan hidup internasional. Meskipun demikian, saya percaya bahwa berpartisipasi dalam tanggung jawab lingkungan global dapat memberikan dampak positif yang sangat signifikan. Penting bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk memanfaatkan tekanan modernisasi sebagai kekuatan yang signifikan di kancah internasional. Indikator keberlanjutan berpengaruh signifikan terhadap kinerja ekspor komoditas utama Indonesia seperti nikel, batu bara, kelapa sawit dan lainnya. Oleh karena itu, negara ini dapat menggunakan komitmen lingkungan global untuk memposisikan dirinya sebagai pendukung kebijakan hijau demi keuntungannya sendiri.
Masalah lingkungan hidup di Indonesia menarik perhatian internasional
Sejak tahun 2014, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan hilir yang berupaya mengurangi ekspor bahan mentah sambil mendorong penggunaannya dalam industri dalam negeri. Strategi tersebut bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja yang diharapkan dapat memberikan keunggulan bagi Indonesia dalam rantai nilai mineral global. Akibatnya, penanaman modal dalam negeri di sektor pertambangan bijih logam meningkat sebesar 132%, dan penanaman modal asing meningkat sebesar 54% pada tahun 2022 (Taufiqurahman et al., 2023). Peningkatan jumlah smelter mengindikasikan adanya peningkatan industri dalam negeri. Saat ini, terdapat 13 smelter nikel yang beroperasi, meningkat signifikan dibandingkan 2 pada tahun 2014. Pabrik pengolahan tambahan saat ini sedang dibangun dan diharapkan dapat beroperasi pada tahun 2025.
Di sektor produk pertanian, kebijakan ini berhasil mendiversifikasi produk turunan kelapa sawit dari 54 varietas pada tahun 2011 menjadi 168 varietas pada tahun 2022 (IDN, 2022). Dengan statusnya sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, hilirisasi minyak sawit penting bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saingnya di pasar global. Selain itu, Indonesia juga dapat menjual berbagai produk turunannya seperti mentega, yogurt, kosmetik, biodiesel, dan biofuel dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk dasarnya.
Namun, peningkatan manfaat ekonomi juga mempunyai dampak negatif yang sama. Penambangan nikel di Kabupaten Conaway Utara, Sulawesi Tenggara, telah menyebabkan pencemaran laut dan menurunkan produktivitas perikanan lokal. Di Kepulauan Halmahera, Maluku Utara, aktivitas yang sama telah menyebabkan pencemaran di berbagai wilayah antara lain ladang, sawah, kolam ikan, lahan, dan tanaman hortikultura (Djamhari et al., 2024). Hal ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk organisasi internasional Greenpeace. Menurut catatan Greenpeace, pembukaan lahan dan penggundulan hutan telah terjadi di banyak wilayah konsesi nikel, seluas 116.942 hektar, terutama di Sulawesi dan Maluku. Mereka menekankan praktik-praktik yang dianggap ceroboh dan memprioritaskan keuntungan finansial di atas segala pertimbangan lainnya (Budri & Sedayu, 2024).
Dalam industri kelapa sawit, produksi besar-besaran diyakini menjadi penyebab utama deforestasi dan degradasi lingkungan, sehingga menimbulkan kekhawatiran internasional yang signifikan. World Wildlife Fund (WWF) melaporkan bahwa perkebunan kelapa sawit seringkali merusak hutan tropis dan menimbulkan dampak buruk terhadap banyak spesies hewan dan tumbuhan. Pembukaan lahan pertanian secara besar-besaran juga meningkatkan risiko konflik manusia-satwa liar, karena populasi hewan dalam jumlah besar terbatas pada wilayah kecil dan terisolasi di habitat aslinya (WWF, 2024). Kerusuhan tersebut mendorong Uni Eropa untuk memberlakukan pembatasan impor minyak sawit, sehingga mengakibatkan Indonesia kehilangan potensi pasar internasional. Dampak buruk produksi minyak sawit telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan konsumen, sehingga menyebabkan penurunan penjualan internasional.
Kekuatan komitmen internasional
Di bawah pengawasan komunitas internasional, Indonesia berupaya menunjukkan niat baiknya dengan berpartisipasi dalam Perjanjian Lingkungan Hidup Global. Indonesia baru-baru ini menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Norwegia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. MoU ini bertujuan untuk mendukung upaya Indonesia dalam melindungi dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, melindungi keanekaragaman hayati, memitigasi gas rumah kaca dari kebakaran dan lahan gambut, memperkuat penegakan hukum dan menangani aspek terkait lainnya (Khemlu, 2022). Awalnya, Indonesia menandatangani Perjanjian Paris tentang perubahan iklim pada tahun 2016, yang berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Menteri menekankan bahwa Indonesia menyadari pentingnya peran kehutanan dan penggunaan lahan dalam mitigasi perubahan iklim. Hal ini sangat penting karena hutan mencakup 65% dari total luas daratan Indonesia sebesar 187 juta km2 dan mengandung keanekaragaman hayati yang signifikan (PPID, 2016).
Indonesia, sebagai negara yang memiliki hutan, sangat mengutamakan prinsip-prinsip keberlanjutan di sektor kehutanan. Pada tahun 2022, Indonesia menerapkan kebijakan Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 melalui keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sekitar 60% dari total target pengurangan gas rumah kaca dalam skenario CM1. Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, Siti Nurbaya, menekankan potensi proyek ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) secara signifikan (PPID, 2024). Pada tahun 2030, proyek ini diproyeksikan dapat mengurangi sekitar 140 juta metrik ton emisi CO2 melalui pendekatan yang terorganisir dan sistematis.
Selain itu, kerja sama Indonesia dengan Kerangka Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) menunjukkan komitmen yang kuat. Proyek ini merupakan upaya untuk mengurangi perubahan iklim yang signifikan berdasarkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Misinya adalah membantu negara-negara berkembang dalam melestarikan hutan. Sejauh ini, Indonesia telah menerima pendanaan sebesar USD 156 juta melalui program Result Base Contribution (RBC) untuk upaya penurunan emisi pada tahun 2016 hingga 2019 (Media Indonesia, 2024). Dana ini akan sangat mendukung upaya Indonesia untuk mencapai tujuan lingkungan hidup melalui inisiatif konservasi dan restorasi hutan.
Kepatuhan Indonesia terhadap perjanjian lingkungan hidup tidak hanya menunjukkan komitmennya terhadap tujuan ramah lingkungan, namun juga memainkan peran penting dalam meningkatkan reputasinya secara global. Nicholas Onuf dan Friedrich Kratochwil berpendapat bahwa hukum internasional tidak hanya membantu negara-negara berdaulat membentuk perilaku mereka tetapi juga membangun identitas mereka (Dunoff, 2012). Artinya, kepatuhan mereka akan membantu menentukan kepentingan nasional, memajukan nilai-nilai nasional, serta menjaga citra internasional mereka. Indonesia, yang sangat bergantung pada apa yang oleh banyak orang dianggap sebagai ‘produk yang berbahaya bagi lingkungan’, hanya dapat mengambil manfaat dari partisipasi dalam upaya keberlanjutan internasional untuk mengurangi prasangka internasional. Hal ini juga mempunyai potensi untuk bertindak sebagai mekanisme baru untuk melindungi kepentingannya di panggung global.
Banyak perusahaan kini memprioritaskan tanggung jawab lingkungan ketika memilih mitra. Investor global juga mempertimbangkan hal ini ketika mengambil keputusan berinvestasi di suatu negara. Laporan UNCTAD menemukan bahwa 79% negara maju, sumber utama investasi asing langsung (OFDI), telah menerapkan inisiatif promosi yang secara progresif menekankan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Akibatnya, semakin banyak negara berkembang yang mengembangkan perekonomian berkelanjutan untuk menarik investor. Selain itu, negara-negara maju lebih cenderung memberikan bantuan kepada negara-negara yang menunjukkan komitmen terhadap isu-isu lingkungan. Seperti yang terlihat dalam kerangka REDD, dana dari negara-negara maju mengalir dengan cepat ke negara-negara berkembang agar mereka dapat melindungi hutannya. Negara-negara berkembang yang dapat melindungi hutannya mempunyai potensi untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perdagangan karbon, yang menawarkan peluang menarik untuk memperoleh keuntungan finansial.
Mematuhi komitmen lingkungan akan membawa banyak manfaat bagi Indonesia. Bagi negara berkembang yang bergantung pada sumber daya alam, membangun reputasi ramah lingkungan merupakan tugas penting. Hal ini terutama berlaku mengingat tantangan ekspor produk pertambangan dan perkebunan, yang sedang mendapat pengawasan ketat di seluruh dunia. Oleh karena itu, Indonesia dapat memberikan tekanan terhadap keberlanjutan dengan berkomitmen pada standar internasional agar dapat memanfaatkan potensinya secara maksimal.
“Pakar TV. Penulis. Gamer ekstrem. Spesialis web yang sangat menawan. Pelajar. Penggemar kopi jahat.”
More Stories
Merayakan Tujuh Tahun Pemuda: The Lab: Membangun Ekosistem Kewirausahaan Pemuda di Indonesia
Mengapa Jalan Indonesia Menuju Net Zero Perlu Tindakan Segera di COP29 – Duta Besar
Gaganjeet Fuller bersiap menghadapi tekanan untuk mempertahankan gelar Indonesia Masters