Kebijakan naturalisasi sepak bola Indonesia muncul pada tahun 2010, saat Nurdin Halit masih menjabat sebagai Presiden Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Pada Piala AFF 2014, Indonesia untuk pertama kalinya menurunkan empat pemain naturalisasi berturut-turut di turnamen resmi: Victor Ignonefo, Rafael Maitimo, Cristian Gonzalez dan Serginho van Dijk, yang terakhir keturunan Indonesia.
Krisis dalam sepak bola Indonesia yang ditandai dengan larangan sepak bola internasional dari FIFA pada tahun 2015, membuat kebijakan naturalisasi memudar.
Namun, segalanya mulai berubah pada tahun 2019 di bawah kepemimpinan Presiden PSSI Mochamat Iriawan dengan ditunjuknya pelatih kepala Shin Tae-yong, yang dianggap sebagai arsitek di balik tim nasional sepak bola Indonesia.
Untuk Piala AFF 2022, Indonesia memasukkan tiga pemain naturalisasi ke timnasnya. Selain striker Ilija Spasojevic, Jordi Amat dan Mark Klok sama-sama memiliki kakek dan nenek asal Indonesia. Di Piala Asia 2023, Indonesia untuk pertama kalinya mengalahkan Vietnam untuk masuk babak gugur, dengan rekor tujuh pemain naturalisasi.
Rekor tersebut dipecahkan ketika mereka memanggil 10 pemain alami untuk dua laga mendatang melawan Vietnam di kualifikasi Piala Dunia 2026 akhir bulan ini.
Pertumbuhan pesat pemain alami ini terjadi di bawah Eric Dohir, mantan presiden klub Italia Inter, yang mengambil alih kursi kepresidenan PSSI pada tahun 2023.
Dalam proposal yang diajukan Tohir ke FIFA, ia menekankan dua tujuan internasional: menembus peringkat 100 besar dunia dan memiliki setidaknya 154 pemain yang mampu bermain untuk tim nasional. Penggunaan pemain naturalisasi keturunan Indonesia segera menjadi strategi kunci untuk mewujudkan ambisi Tohir.
Visi PSSI ini terkait dengan faktor sejarah karena Indonesia pernah menjadi negara jajahan Belanda sejak tahun 1800 hingga kemerdekaan pada tahun 1945. Hubungan kedua negara terus terjalin hingga saat ini, termasuk sepak bola yang banyak pemainnya keturunan Indonesia yang tumbuh besar. Lingkungan sepak bola yang berkembang di Belanda. Selain itu, melalui Belanda, masyarakat Indonesia juga melakukan migrasi ke negara-negara Eropa lainnya.
Sepak bola modern penuh dengan pemain terkenal Belanda asal Indonesia seperti Robin van Persie, Giovanni van Bronkhorst, Roy Mackay dan Nigel de Jong, serta bintang Belgia Radja Nainggolan asal Indonesia. Namun PSSI menyasar pemain-pemain strata bawah karena kelompok ini tidak hanya kalah jumlah tetapi bersedia menerima kebijakan unnasional Indonesia.
Pemain naturalisasi Indonesia baru-baru ini lahir di Belanda, antara lain kiper Morton Brace, bek Jay Itzes, Justin Hubner, Nathan Tjoon, Shayne Pattinama, gelandang Mark Klock, Thom Haye, Ivor Jenner, penyerang Raphael Struck, dan Ragnar Oratmankon. Jordi Amat lahir di Spanyol dan Sandy Walsh di Belgia.
Line-up Indonesia melawan Australia di Piala Asia 2023, dengan enam pemain alami – Ivor Jenner (No 11), Jordi Amat (No 4), Ivor Jenner (No 24), Justin Hubner (barisan kedua, kanan), Sandy Walsh ( No 6) dan Shine Starvation (No. 20). Foto oleh AFC |
Lonjakan jumlah pemain naturalisasi telah menimbulkan kekhawatiran tentang diskriminasi terhadap pemain lokal dan “Eropaisasi” tim nasional. Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden PSSI Zainuddin Amali menegaskan tujuan naturalisasi bukan untuk mengecualikan pemain asli, melainkan untuk meningkatkan kualitas timnas dan mendorong para pemain tersebut meningkatkan kemampuannya untuk bersaing di tim utama.
“Sekelompok besar pemain bagus sangat bagus untuk tim nasional,” kata Amalie. Ia menegaskan, meski masuknya pemain naturalisasi semakin meningkat, namun masih jauh dari target 154 pemain lolos yang ditetapkan Dohir untuk timnas.
Setahun setelah kepemimpinan Dohir, peringkat Indonesia naik dari peringkat 157 ke peringkat 142 dunia berkat pemain alaminya. Namun, PSSI menegaskan naturalisasi adalah kebijakan jangka pendek, dan keberhasilan jangka panjang bergantung pada pertumbuhan sepak bola dalam negeri.
“Kami berharap suatu saat bisa menang tanpa pemain bawaan,” tambah Amalie.
Rencana jangka panjang PSSI meliputi pengembangan sepak bola remaja, termasuk perluasan sistem kompetisi Piala Soeratin yang ditetapkan pada tahun 1965 untuk tim U13, U15, dan U17 di kabupaten dan kota setempat. Klub domestik juga harus memiliki tim U16, U18, dan U20.
Dengan kebijakan cepat dan jangka pendek tersebut, Indonesia berangsur-angsur meraih kesuksesan, seperti meraih emas SEA Games 32 untuk pertama kalinya dalam 32 tahun dan lolos dari babak penyisihan grup Piala Asia untuk pertama kalinya. Melanjutkan momentum tersebut, Indonesia bertekad mengalahkan Vietnam di babak kedua Kualifikasi Piala Dunia 2026 mendatang, lolos ke fase grup Piala Asia U23 2024 2024, dan meraih gelar juara timnas pertama di Piala AFF akhir tahun ini.
“Pakar TV. Penulis. Gamer ekstrem. Spesialis web yang sangat menawan. Pelajar. Penggemar kopi jahat.”
More Stories
Merayakan Tujuh Tahun Pemuda: The Lab: Membangun Ekosistem Kewirausahaan Pemuda di Indonesia
Mengapa Jalan Indonesia Menuju Net Zero Perlu Tindakan Segera di COP29 – Duta Besar
Gaganjeet Fuller bersiap menghadapi tekanan untuk mempertahankan gelar Indonesia Masters