Pada tanggal 28 Agustus, Kementerian Sumber Daya Alam Tiongkok Diterbitkan Sebuah “peta standar” baru yang disetujui pemerintah, menarik perhatian langsung pada satu detail khusus: 10 garis putus-putus di Laut Cina Selatan. Klaim maritim Tiongkok, yang sebelumnya dikenal sebagai “sembilan garis putus-putus”, melanggar batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Vietnam, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Brunei. Menanggapi peta baru, pada tanggal 31 Agustus, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan hal tersebut Semua penggambaran batas-batas dan klaim maritim harus mematuhi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Peluncuran peta baru ini menandakan tekad Tiongkok untuk menegaskan klaim sepihak di Laut Cina Selatan, yang menggarisbawahi perlunya Indonesia menegaskan dan menegaskan kembali keamanan dan kedaulatan maritimnya.
UNCLOS secara jelas menguraikan prinsip-prinsip kedaulatan maritim baik di atas maupun di bawah permukaan perairan. Konvensi tersebut membagi perairan teritorial suatu negara menjadi dua wilayah: laut teritorial yang membentang sejauh 12 mil laut (22,2 kilometer) dari pantai suatu negara dan ZEE yang membentang sejauh 200 mil laut (370,4 kilometer) dari pantai. Meskipun keduanya sering dibingungkan atau dianggap sama, laut teritorial dan ZEE pada dasarnya berbeda. Pertama, laut teritorial merupakan wilayah kedaulatan suatu negara. Berbeda dengan laut teritorial, ZEE sebenarnya dianggap sebagai laut internasional. Namun, negara pantai mempunyai “hak berdaulat” atas semua kegiatan ekonomi dan sumber daya di zona tersebut, termasuk perikanan dan cadangan minyak dan gas bawah air.
Meskipun UNCLOS menegaskan kedaulatan atas laut teritorial, perjanjian tersebut juga menetapkan rezim operasional yang unik. Berbeda dengan perbatasan darat, di mana pembatasan ketat dapat diberlakukan terhadap orang asing, konsep “lintas damai” berlaku di laut teritorial suatu negara. Pada dasarnya, ia menawarkan pengiriman ke luar negeri Oke Menyeberangi laut teritorial suatu negara, sepanjang “tidak merugikan perdamaian, ketertiban atau keamanan” negara pantai tersebut. Selain itu, kapal selam tidak diharuskan muncul ke permukaan ketika melakukan “jalur transit”, yaitu berpindah dari satu laut lepas ke laut lepas lainnya melalui selat.
Lintasnya kapal selam menghadirkan tantangan tersendiri yang dapat merugikan kedaulatan bawah air suatu negara. Karena sifat silumannya, kapal selam menghindari masuknya secara ilegal ke wilayah perairan suatu negara. Selain itu, tantangan ini diperparah dengan kemajuan teknologi militer yang bahkan dapat diintegrasikan dengan kapal sipil, sehingga mengarah pada pengawasan kendaraan tak berawak bawah air (UUV) ilegal. Hal ini pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Pada bulan Desember 2020, seorang nelayan Indonesia Menyukai UUV Dekat Kepulauan Selaar di Sulawesi Selatan Sea Wing Tiongkok seperti UUV, yang mampu mengukur arus air, suhu, salinitas, dan kadar oksigen. Bulan depan, nelayan setempat UUV Tiongkok lainnya ditemukan Di perairan Kepulauan Anambas dekat Kepulauan Riau.
Berdasarkan kondisi geografis dan ancaman maritim yang muncul, negara-negara Indo-Pasifik berlomba untuk meningkatkan kemampuan pertahanan bawah airnya. AUKUS, sebuah perjanjian pertahanan trilateral antara Inggris, Amerika Serikat, dan Australia, didirikan pada tahun 2021, yang akan memberikan Angkatan Laut Australia akses ke kapal selam bertenaga nuklir yang dipersenjatai secara konvensional. Pemerintah Australia telah menggelontorkan jutaan dolar untuk mengembangkan sistem ISR (Intelligence, Surveillance, Reconnaissance) bawah air otonom yang disebut Blue Sentry. Demikian pula tahun ini, Angkatan Laut Singapura memesan kapal selam Type-218 SG dari Jerman. Cina Dan Jepang Mengungkapkan desain UUV ekstra besar mereka. Sementara itu, seperti halnya Indonesia, Filipina telah menerima proposal dari setidaknya tiga negara (Prancis, Korea Selatan, dan Spanyol) untuk program akuisisi kapal selamnya.
Mengingat meningkatnya jumlah lalu lintas dan ancaman bawah air, dalam beberapa tahun terakhir TNI Angkatan Laut (TNI-AL) dan Kementerian Pertahanan semakin vokal dalam menekankan perlunya meningkatkan kemampuan deteksi bawah air Indonesia. Misalnya, ada ide untuk membangun jaringan deteksi bawah air yang serupa dengan sistem pemantauan akustik Amerika di titik-titik strategis negara tersebut (Selat Sunda, Lombok, dan Makasar). Secara paralel, TNI-AL bermaksud mengoperasikan pesawat patroli maritim misi penuh setara dengan P-8 Poseidon yang mampu melakukan operasi perang anti kapal selam. Namun, meskipun ada tujuan yang ambisius, kemajuannya berjalan lambat karena ketidakstabilan politik dan kurangnya dukungan anggaran.
Selain itu, TNI-AL juga sudah lebih spesifik mengenai kemampuan yang diinginkan pada armada kapal selamnya di masa depan, meski jumlah target kapal selam minimal adalah 12. Misalnya, TNI Angkatan Laut ingin kapal selam bisa beroperasi maksimal di ZEE. Laut lepas dan dapat meluncurkan rudal dan UUV. Untuk melakukan hal tersebut, Indonesia membutuhkan aset yang mampu melakukan perjalanan jarak jauh. Pada tahun 2021, pemerintah juga memasukkan teknologi penginderaan bawah air ke dalam 10 proyek prioritas Departemen Keamanan Dalam Negeri.
Aset dan teknologi ini sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk mendapatkan gambaran lengkap mengenai wilayah maritimnya dan mencapai apa yang oleh para ahli digambarkan sebagai “pencegahan melalui deteksi.” Idenya adalah bahwa calon musuh akan lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan kegiatan ilegal jika mereka mengetahui bahwa mereka terus diawasi. Jika perlu, Jakarta dapat merilis data deteksi kepada publik untuk “menyebut dan mempermalukan” pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kegiatan ilegal dan untuk membenarkan biaya pembangunan dan pemeliharaan sistem pengawasan maritim nasional.
Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mempercepat upaya pengembangan kemampuan deteksi bawah air untuk melindungi kedaulatan maritimnya dan menghalangi aktivitas oportunistik pihak-pihak tertentu.
Pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini bersifat pribadi.
“Pakar TV. Penulis. Gamer ekstrem. Spesialis web yang sangat menawan. Pelajar. Penggemar kopi jahat.”
More Stories
Merayakan Tujuh Tahun Pemuda: The Lab: Membangun Ekosistem Kewirausahaan Pemuda di Indonesia
Mengapa Jalan Indonesia Menuju Net Zero Perlu Tindakan Segera di COP29 – Duta Besar
Gaganjeet Fuller bersiap menghadapi tekanan untuk mempertahankan gelar Indonesia Masters