Dalam satu dekade terakhir, ekonomi digital telah menjadi salah satu bentuk perubahan sosial politik dalam sistem perekonomian umat manusia. Ekonomi digital memungkinkan transaksi bisnis virtual melalui jaringan platform media sosial lintas negara. Menurut perhitungan McKinsey, ekonomi digital Indonesia mencapai US$120 miliar per tahun (Aprilia et al., 2021). Saat ini terdapat 64,2 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia yang menyumbang 61% terhadap PDB, dan hanya sekitar 17,5 juta pelaku UMKM yang terlibat dalam ekosistem digital dan menggunakan e-commerce (Kominfo, 2022).
Untuk mendorong ekosistem digital, pemerintah menargetkan pertumbuhan UMKM nasional di masa depan, yakni menumbuhkembangkan 24 juta UMKM pada tahun 2023 dan meningkat menjadi 30 juta pada tahun 2024 (Kominfo, 2022). Target nasional tersebut mencerminkan tertundanya integrasi pelaku usaha ke dalam ekosistem digital di Indonesia. Hal ini tentu penting mengingat rencana TikTok untuk memperkenalkan rencana “S” sebagai format nasional dengan harga dan keterpaparan informasi yang lebih rendah, karena dapat langsung diakses oleh calon konsumen.
UMKM Indonesia menjadi pihak yang terkena dampak dari ekspansi bisnis ini. TikTok rencananya akan memasuki pasar Indonesia dengan strategi pengumpulan data dari pengguna untuk mengidentifikasi preferensi produk pasar guna menyediakan strategi konten produk luar negeri. Fenomena e-commerce transnasional ini mewakili politik perdagangan antara perusahaan multinasional dan usaha kecil di Indonesia, dengan beberapa pihak mendapatkan keuntungan komparatif dan sebagian besar tertinggal dalam operasional bisnis. Secara khusus, kehadiran toko TikTok di Indonesia secara implisit mempertanyakan kebijakan digital bottom dan dilema pasar saat ini.
Pentingnya dan Dilema E-commerce di Indonesia
Menurut perkiraan Momentum Works, TikTok Shop menguasai 4,4% pangsa pasar e-commerce di Asia Tenggara pada tahun 2022 dan diperkirakan akan tumbuh menjadi 13,2% pada tahun 2023 di Asia Tenggara (Annur, 2023). Indonesia memiliki jumlah pengguna TikTok tertinggi kedua setelah Amerika Serikat, dengan total 125 juta pengguna aktif bulanan (MAU) (Rahadian, 2023). Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pasar grosir yang menjanjikan bagi produk-produk PMN Tiongkok yang diproduksi di dalam negeri. Hal ini menandakan bahwa TikTok berkembang sebagai social commerce di Indonesia. Menurut definisinya, perdagangan sosial memungkinkan konsumen berbelanja di media sosial tanpa harus meninggalkan situs.
Kini dapat dijelaskan bahwa TikTok berperan ganda sebagai platform-media sosial dan e-commerce. Dominasi Tiktok dalam perekonomian digital Indonesia semakin kuat sehingga tidak dapat dipungkiri telah menimbulkan perbedaan antara pelaku usaha social commerce dan konvensional. Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap kesenjangan perdagangan sosial, mulai dari efisiensi pedagang hingga kualitas produk yang murah. Beberapa pelaku UMKM di Indonesia yang berkecimpung di Tik Tok Shop meyakini manfaat fitur ini. Namun sebagian besar konsumen merasa ditinggalkan dengan keberadaan toko TikTok.
Fenomena Tiktok Shop di Indonesia jika dianalisa lebih lanjut tidak menggambarkan produk dalam negeri versus produk luar negeri, melainkan mewakili persaingan antara metode bisnis modern dan metode bisnis konvensional. Kesenjangan antar pelaku usaha lokal di Indonesia sebenarnya berkutat pada strategi pemasaran yang perlu diubah seiring dengan perkembangan pasar dan preferensi konsumen. Sebagai perbandingan, dominasi TikTok telah menciptakan standar pasar dengan konsumen sebagai platform, sehingga dalam dilema seperti itu, rezim politik pemerintah harus mengambil langkah-langkah keamanan sementara dan mempertimbangkan kembali kebijakan ekonomi yang merupakan sarana subordinasi digital.
Proteksionisme dan fondasi ekosistem hilir digital
Meningkatnya permintaan toko Tik Tok di Indonesia dan menurunnya konsumen di pusat grosir perkotaan mengharuskan pemerintah mengambil tindakan perlindungan. Melalui Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, pemerintah menerbitkan Peraturan Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 yang mengatur kewajiban pedagang dan platform e-commerce untuk menunjukkan bukti kepatuhan terhadap standarisasi produk dan perdagangan. Oleh karena itu, TikTok Indonesia setuju untuk mematuhi peraturan pemerintah tersebut dan operasional TikTok Shop di Indonesia ditutup pada tanggal 4 Oktober 2023 (Sandy, 2023).
Kekuatan platform digital—Tiktok—berpotensi mengesampingkan norma hukum dan keamanan setiap saat (Michaels, 2018; Wakunuma, 2019), sehingga yang perlu ditelaah selanjutnya adalah wacana ekosistem digital di Indonesia ke depan. Toko TikTok merupakan simbol dari disrupsi pasar dan konsumerisme saat ini, sehingga tidak bisa diartikan sebagai kesalahan fatal dalam perekonomian Indonesia. Memang acara ini mengingatkan kita akan kesiapan ekosistem dan infrastruktur digital masyarakat Indonesia. Sebab, pada dasarnya pasar perekonomian internasional tidak berada dalam keadaan stagnasi, melainkan mengalami perubahan mengikuti tren dunia modern.
Ekonomi digital global kini diyakini hampir memonopoli dinamika politik perdagangan internasional. Hilirisasi Digital di Indonesia perlu dilaksanakan dengan komitmen yang tepat. Permasalahan utama dalam digitalisasi adalah kemampuan masyarakat Indonesia dalam menggunakan komunikasi digital. Indeks literasi digital Indonesia pada tahun 2022 sebesar 3,54 poin pada skala 1-5 yang berarti berada pada level ‘sedang’ (Annur, 2023). Untuk meningkatkan kualitas literasi digital, perlu untuk mengatasi hambatan-hambatan umum terhadap akses Internet seperti tingkat adopsi TIK dan kesenjangan regional di wilayah-wilayah yang sulit diakses. Berikutnya adalah aspek teknologi, mengelola kemampuan digital di komunitas dan memanfaatkan fitur-fitur platform, keduanya penting untuk mendukung ekosistem digital yang sehat.
Peran strategis pemerintah: belajar dari pengalaman Tiongkok
Istilah ‘laissez-faire’ tidak berlaku pada ekonomi digital. Secara strategis, pemerintah mempunyai peran khusus dalam perekonomian digital, terutama di negara-negara berkembang. Pertama, rezim politik memerlukan kebijakan yang mengontrol akses pasar, memantau kekuatan pasar, melakukan standarisasi, dan mendorong inovasi (Spencer, 2021). Kondisi ideal ini mungkin merespons akumulasi modal digital di perusahaan-perusahaan besar dan membatasi jenis kekuatan monopoli baru. Ketika kekuatan pasar dapat diakses oleh rezim politik, pemerintah dapat merancang sistem perpajakan dan insentif yang sesuai untuk ekonomi digital (Spencer, 2021). Sekali lagi, perpajakan dalam ekonomi digital bersifat kompleks dan kompleks karena sifat transaksinya yang bersifat transnasional. Terakhir, penting untuk memperkuat kerja sama internasional di bidang perdagangan digital.
Kebijakan industri Tiongkok bertindak sebagai katalis untuk meningkatkan basis ekonomi. Keberhasilan fenomena e-commerce Tiongkok menunjukkan seberapa baik integrasinya dengan perencanaan negara dan kekuatan pasar, infrastruktur teknologi dan penerapan institusi pelengkap, produktivitas pasar, dan agenda ekspansi global (You, 2020). Negara-negara berkembang seperti Indonesia dapat melihat pengalaman Tiongkok sebagai referensi untuk ekosistem pasar digital. Transformasi digital, khususnya yang berkaitan dengan ekonomi platform, memerlukan komitmen kebijakan industri yang holistik dan berjangka panjang. Sebab di sini hilirisasi digital juga mengacu pada nilai tambah produsen sebagai poros rantai perdagangan global.
“Pakar TV. Penulis. Gamer ekstrem. Spesialis web yang sangat menawan. Pelajar. Penggemar kopi jahat.”
More Stories
Merayakan Tujuh Tahun Pemuda: The Lab: Membangun Ekosistem Kewirausahaan Pemuda di Indonesia
Mengapa Jalan Indonesia Menuju Net Zero Perlu Tindakan Segera di COP29 – Duta Besar
Gaganjeet Fuller bersiap menghadapi tekanan untuk mempertahankan gelar Indonesia Masters