JAKARTA: Perusahaan teknologi global seperti Google dan Microsoft lebih memilih Malaysia sebagai lokasi pusat data dibandingkan Indonesia, demikian pengakuan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Ari Chettiadi.
Dia mengaitkan hal ini dengan rendahnya biaya listrik dan insentif keuangan yang menarik di negara tetangga.
“Listrik di Malaysia hanya 8 [US] sen per kilowatt-jam [kWh]. Memberikan pembebasan pajak atas barang modal dan memberikan kepastian hukum kepada investor,” kata Budi, Rabu (9/10).
Ketua operator pusat data Indonesia, Bersama Digital Data Centers (BDDC), Komisaris Setyanto Handoro menyoroti bahwa harga listrik di Indonesia, yang berkisar antara 11 hingga 12 sen per kWh, tidak kompetitif.
Budi menekankan bahwa populasi besar di Indonesia dan sumber daya energi terbarukan yang berlimpah dapat menjadikan Indonesia sebagai pasar yang menarik bagi pusat data modern, meskipun negara ini diperkirakan akan menarik investasi pusat data sebesar US$634 juta pada tahun ini, jauh lebih sedikit dibandingkan Malaysia.
Ia menggarisbawahi perlunya memperbaiki iklim investasi di negara ini dan memberikan insentif kompetitif untuk menarik pemain global.
“Mudah-mudahan kita bisa menekan biaya listrik untuk data center. “Kita tidak boleh memberi kesan bahwa berinvestasi di Indonesia itu sulit,” tambahnya.
Peluang yang terlewatkan Singapura memberlakukan larangan pengembangan pusat data pada tahun 2019 hingga 2022, yang pada saat itu digambarkan sebagai peluang utama bagi Indonesia sebagai tujuan alternatif pusat data yang terhubung secara global.
Namun, negara bagian Johor di Malaysia memanfaatkan momen ini dengan memperluas kapasitas pusat datanya dari 10 MW menjadi 1,3 GW selama periode tersebut.
Sebaliknya, Indonesia saat ini hanya mengoperasikan pusat data berkapasitas 300 MW, meskipun lokasinya berdekatan dengan negara kota tersebut, menurut Asosiasi Pusat Data Indonesia (IDPRO).
Kapasitas pusat data biasanya diukur dalam konsumsi daya dan oleh karena itu dinyatakan dalam watt.
IDPRO memperkirakan bahwa kapasitas pusat data di Indonesia akan tumbuh hingga 2,3 GW pada dekade mendatang, sehingga menempatkan negara ini sebagai pusat regional yang potensial karena sumber energi terbarukannya.
Namun, agar hal ini bisa terwujud, asosiasi tersebut menekankan bahwa pemerintah harus menawarkan lebih dari sekedar insentif pajak penghasilan untuk menarik investor dan mencegah mereka mencari tempat lain di kawasan ini.
“Sejujurnya, Malaysia telah memanfaatkan larangan pusat data di Singapura dengan sangat baik,” kata ketua IDPRO Hendra Suryakusuma pada bulan Juni.
Pada tanggal 1 Oktober, Google mengadakan upacara peletakan batu pertama pusat datanya di Malaysia, yang dihadiri oleh Perdana Menteri Anwar Ibrahim, lima bulan setelah raksasa teknologi itu mengumumkan rencana tersebut.
Terletak 20 kilometer sebelah timur Kuala Lumpur, fasilitas ini memerlukan investasi sebesar $2 miliar.
Proyek ini diperkirakan akan menyumbang $3,2 miliar terhadap PDB negara tersebut dan menciptakan 26.500 lapangan kerja pada tahun 2030.
Sehari sebelumnya, perusahaan mengumumkan investasi $1 miliar untuk membangun pusat data di Thailand, yang diproyeksikan akan menciptakan 14.000 lapangan kerja pada tahun 2029.
Pada bulan Mei, raksasa teknologi Microsoft mengungkapkan rencana untuk menginvestasikan $2,2 miliar di Malaysia selama empat tahun ke depan, termasuk membangun infrastruktur pusat data pertama di negara tersebut. – Jakarta Post/ANN
“Pakar TV. Penulis. Gamer ekstrem. Spesialis web yang sangat menawan. Pelajar. Penggemar kopi jahat.”
More Stories
Merayakan Tujuh Tahun Pemuda: The Lab: Membangun Ekosistem Kewirausahaan Pemuda di Indonesia
Mengapa Jalan Indonesia Menuju Net Zero Perlu Tindakan Segera di COP29 – Duta Besar
Gaganjeet Fuller bersiap menghadapi tekanan untuk mempertahankan gelar Indonesia Masters